ARTICLE AD BOX
Ngayah adalah tradisi yang menjadi motor aktivitas adat di Pulau Dewata. Kegiatan gotong-royong tulus ikhlas tanpa imbalan apapun ini adalah bagian tidak terpisahkan dari kehidupan adat dan keagamaan.
Hal sama juga berlaku bagi orang luar yang masuk ke dalam sistem adat Bali karena perkawinan seperti Jero Happy. Bahkan, videonya sedang ngayah serangkaian karya agung di Pura Desa, Desa Adat Ubud, Gianyar, Bali tular di media sosial. Hidupnya sebagai pesohor dulu berubah drastis setelah menyelami adat Bali.
Berpakaian kebaya putih di tengah-tengah krama istri, perempuan Sunda ini tampak terampil mengolah adonan tepung beras jadi sanganan berbentuk rumit. Sanganan adalah sejenis jajanan untuk piranti upacara yang jadi ranah pekerjaan pengayah perempuan di Bali.
Dalam siniar Bincang Pintar Kebudayaan yang digelar Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV Bali dan Nusa Tenggara, istri putra Bendesa Adat Ubud Tjokorda Raka Kerthyasa, Tjokorda Bagus Dwi Santana Kerthyasa (Tjok Gus) ini, menyebut pengayah sebagai pahlawan bangsa.
"Mereka (pengayah) dengan keikhlasan, baktinya hidup mereka kepada adat dan tradisi, tidak dibayar, dan bahkan harus mengeluarkan biaya untuk merawat tradisi kita. Berarti, mereka kan pahlawan-pahlawan bangsa. Kalau tidak ada mereka, siapa? Sedangkan, Indonesia jualannya tradisi, budaya," ungkap Jero Happy.
Awalnya di siniar ini, Jero Happy menceritakan perjalannya menjadi 'orang Bali' setelah menikah dengan Tjok Gus. Sebagai orang luar yang kini jadi bagian warga Puri Agung Ubud, seluk beluk kebudayaan Bali, aktivitas dan keterampilan ngayah dipelajarinya dari semeton puri mulai dari nol.
Di satu sisi, sebagai pesohor yang sibuk, dulu Jero Happy sempat sinis dengan tradisi ngayah lantaran dibuat sering cuti dan mengganggu produktivitas. Di sisi lain, batinnya bergejolak sebab selaku seniman tanah air ia kerap berbicara seni, budaya, dan warisan tradisi bangsa yang harus dijaga kelestariannya.
"Berarti saya munafik dong? Akhirnya pikiran saya, saya ubah bahwa oh malah saya harus berterima kasih kepada semeton-semeton Bali (karena sudah melestarikan tradisi dan budaya bangsa)," beber Jero Happy.
Sayangnya, menurut perempuan kelahiran Kabupaten Sukabumi 44 tahun silam, para pengayah di Bali masih menemui diskriminasi di dunia kerja. Para pelestari budaya yang menopang pariwisata ini kerap diprotes ketika meminta cuti ngayah berulang. Jero Happy yang juga pengusaha bersikap sebaliknya.
"Akhirnya sekarang kalau ada (staf), 'Bu, saya izin ya ada ngayah di kampung.' Saya bilang, 'Terima kasih banyak ya, untung ada kamu yang mau ngayah.' Kalau di daerah lain, dibayar saja belum tentu mau," imbuh putri dari pasangan Alm Dachlan Suhendra dan Iis Rohaeni ini.
Jero Happy menambahkan, apresiasi kepada pelestari budaya di dunia kerja semacam ini penting dilakukan, bukan hanya di Bali. Pulau Dewata dengan sistem adat yang mengikat telah menggerakkan masyarakat sebagai penjaga kebudayaan yang jadi identitas bangsa.
Jika kebudayaan yang diwariskan leluhur ini tidak dijaga dan diapresiasi dari langkah kecil seperti memudahkan cuti ngayah, identitas bangsa bisa punah. Ketika sudah punah, tidak ada jalan lain untuk membangkitkannya karena tradisi dan kebudayaan bangsa ini hanya milik Bangsa Indonesia sendiri.
"Setelah melalui, ada goncangan, dan sampai ke titik ini. Setelah menghayati, menerima, dan mempelajari, kita ini hanya tinggal meneruskan apa yang sudah leluhur wariskan yaitu dengan membuat jembatan komunikasi dengan masa lalu untuk memberikan ke masa depan," tegas Jero Happy. *rat
Hal sama juga berlaku bagi orang luar yang masuk ke dalam sistem adat Bali karena perkawinan seperti Jero Happy. Bahkan, videonya sedang ngayah serangkaian karya agung di Pura Desa, Desa Adat Ubud, Gianyar, Bali tular di media sosial. Hidupnya sebagai pesohor dulu berubah drastis setelah menyelami adat Bali.
Berpakaian kebaya putih di tengah-tengah krama istri, perempuan Sunda ini tampak terampil mengolah adonan tepung beras jadi sanganan berbentuk rumit. Sanganan adalah sejenis jajanan untuk piranti upacara yang jadi ranah pekerjaan pengayah perempuan di Bali.
Dalam siniar Bincang Pintar Kebudayaan yang digelar Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV Bali dan Nusa Tenggara, istri putra Bendesa Adat Ubud Tjokorda Raka Kerthyasa, Tjokorda Bagus Dwi Santana Kerthyasa (Tjok Gus) ini, menyebut pengayah sebagai pahlawan bangsa.
"Mereka (pengayah) dengan keikhlasan, baktinya hidup mereka kepada adat dan tradisi, tidak dibayar, dan bahkan harus mengeluarkan biaya untuk merawat tradisi kita. Berarti, mereka kan pahlawan-pahlawan bangsa. Kalau tidak ada mereka, siapa? Sedangkan, Indonesia jualannya tradisi, budaya," ungkap Jero Happy.
Awalnya di siniar ini, Jero Happy menceritakan perjalannya menjadi 'orang Bali' setelah menikah dengan Tjok Gus. Sebagai orang luar yang kini jadi bagian warga Puri Agung Ubud, seluk beluk kebudayaan Bali, aktivitas dan keterampilan ngayah dipelajarinya dari semeton puri mulai dari nol.
Di satu sisi, sebagai pesohor yang sibuk, dulu Jero Happy sempat sinis dengan tradisi ngayah lantaran dibuat sering cuti dan mengganggu produktivitas. Di sisi lain, batinnya bergejolak sebab selaku seniman tanah air ia kerap berbicara seni, budaya, dan warisan tradisi bangsa yang harus dijaga kelestariannya.
"Berarti saya munafik dong? Akhirnya pikiran saya, saya ubah bahwa oh malah saya harus berterima kasih kepada semeton-semeton Bali (karena sudah melestarikan tradisi dan budaya bangsa)," beber Jero Happy.
Sayangnya, menurut perempuan kelahiran Kabupaten Sukabumi 44 tahun silam, para pengayah di Bali masih menemui diskriminasi di dunia kerja. Para pelestari budaya yang menopang pariwisata ini kerap diprotes ketika meminta cuti ngayah berulang. Jero Happy yang juga pengusaha bersikap sebaliknya.
"Akhirnya sekarang kalau ada (staf), 'Bu, saya izin ya ada ngayah di kampung.' Saya bilang, 'Terima kasih banyak ya, untung ada kamu yang mau ngayah.' Kalau di daerah lain, dibayar saja belum tentu mau," imbuh putri dari pasangan Alm Dachlan Suhendra dan Iis Rohaeni ini.
Jero Happy menambahkan, apresiasi kepada pelestari budaya di dunia kerja semacam ini penting dilakukan, bukan hanya di Bali. Pulau Dewata dengan sistem adat yang mengikat telah menggerakkan masyarakat sebagai penjaga kebudayaan yang jadi identitas bangsa.
Jika kebudayaan yang diwariskan leluhur ini tidak dijaga dan diapresiasi dari langkah kecil seperti memudahkan cuti ngayah, identitas bangsa bisa punah. Ketika sudah punah, tidak ada jalan lain untuk membangkitkannya karena tradisi dan kebudayaan bangsa ini hanya milik Bangsa Indonesia sendiri.
"Setelah melalui, ada goncangan, dan sampai ke titik ini. Setelah menghayati, menerima, dan mempelajari, kita ini hanya tinggal meneruskan apa yang sudah leluhur wariskan yaitu dengan membuat jembatan komunikasi dengan masa lalu untuk memberikan ke masa depan," tegas Jero Happy. *rat