Prabowo di Puncak Popularitas

2 weeks ago 3
ARTICLE AD BOX
JAKARTA, NusaBali
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mencatat Presiden Prabowo Subianto saat ini berada di puncak tertinggi popularitas setelah bertahun-tahun menunggu untuk memegang palu dan pahat nasib bangsa Indonesia. Sementara tantangan terberat pemerintahan Prabowo-Gibran adalah koordinasi kementerian yang gemuk.

Direktur PT Survei Strategi Indonesia (SIGI) LSI Denny JA Ardian Sopa mengatakan hal tersebut berdasarkan hasil survei yang menunjukkan bahwa kesukaan responden terhadap Prabowo berada di tingkat premium, yaitu mencapai 90,5 persen per Oktober 2024, naik dari 83,5 persen pada Januari 2023 dan 82,7 persen pada Juli 2023. “Popularitas di sini bukan sekadar soal pengenalan publik, melainkan kesukaan,” ucap Ardian dalam keterangan di Jakarta, Selasa (22/10).

Menurut Ardian, tingginya angka kesukaan tersebut tak hanya mencerminkan kecintaan dan harapan, namun juga sekaligus tantangan.Ia pun menuturkan program makan siang gratis yang diinisiasi Prabowo tercatat paling populer dalam survei, dengan tingkat kesukaan publik mencapai 74,9 persen. Sementara sejauh ini, sambung dia, kepercayaan terhadap lembaga pemerintah di atas 80 persen tercatat pada TNI, yakni 88,3 persen. 

Dari sisi generasi, dirinya mengungkapkan hasil survei menunjukkan bahwa Generasi Z (di bawah 27 tahun) tercatat paling tinggi menyukai sosok Prabowo, yaitu sebesar 92,7 persen. “Untuk milenial, tercatat sebanyak 90,8 persen yang menyukai Prabowo, generasi X sebanyak 89,9 persen, dan baby boomer sebanyak 89,3 persen,” kata dia menambahkan.

Survei nasional tersebut dilaksanakan pada tanggal 26 September-3 Oktober 2024 di semua provinsi di Indonesia dengan metode wawancara tatap muka (face-to-face interview) menggunakan kuesioner terhadap 1.200 responden. Margin kesalahan atau Margin of Error (MoE) survei tercatat sebesar +/- 2,9 persen. Selain survei, LSI Denny JA juga menggunakan riset kualitatif berupa wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah, dan analisis media untuk memperkuat analisa.

Sementara pakar kebijakan publik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Slamet Rosyadi membedah tantangan terbesar kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. “Ya, semakin banyak kementerian, tantangan koordinasinya juga semakin sulit. Ke depannya, tantangan yang dihadapi oleh pemerintah pusat terutama presiden untuk mengoordinasi kementerian itu makin besar, ya makin sulit koordinasinya,” katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.

Bahkan, kata dia, tantangan dalam koordinasi tersebut juga akan dirasakan oleh pemerintah daerah karena saking banyaknya kementerian. Dengan demikian, ketika nomenklatur kementeriannya berubah, lanjut dia, perlu ada penyesuaian-penyesuaian nomenklatur organisasi perangkat daerah (OPD) untuk memudahkan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. “Termasuk juga untuk alokasi sumber daya dari pusat ke daerah. Misalkan kalau ada resources (sumber daya, red.) yang akan dialokasikan ke daerah akan sulit kalau tidak ada nomenklatur yang diakomodasi di daerah,” kata guru besar bidang administrasi pembangunan tersebut.

Meskipun jumlah kementeriannya cukup banyak karena mencapai 48 kementerian, dia mengatakan pemerintah daerah tidak perlu membuat nomenklatur OPD sesuai dengan jumlah kementerian yang ada karena dapat dilakukan melalui pola rumpun (perumunan) seperti yang telah berjalan selama ini. Dalam hal ini, kata dia, perumpunan dilakukan dengan menggabungkan dinas atau instansi yang fungsinya saling berkaitan ke dalam satu OPD. “Itu tergantung kebijakan masing-masing daerah. Tapi biasanya daerah itu kecenderungannya menggabungkan karena kita tahu kapasitas anggaran di daerah juga sangat terbatas, sehingga tidak mungkin memecah sesuai apa yang terjadi di pusat,” kata Prof Slamet.

Akan tetapi, kata dia, yang paling penting untuk masalah pendidikan dasar merupakan urusan wajib pemerintah kabupaten/kota, pendidikan menengah merupakan urusan pemerintah provinsi, dan pendidikan tinggi merupakan urusan pemerintah pusat. Menurut dia, jumlah kementerian yang cukup banyak itu tidak bertentangan dengan semangat otonomi daerah. “Sekarang juga otonomi daerah hampir tidak ada lagi karena kayak peraturan daerah itu harus disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri. Perda terkait dengan retribusi, pajak daerah, 'kan harus mendapat persetujuan dari pusat,” katanya.

Ia mengatakan jika tidak mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat, perda-perda tersebut tidak bisa diundangkan. Selain itu, kata dia, anggaran dari pemerintah pusat untuk daerah juga sudah ditentukan untuk apa saja. “Jadi, sekarang itu praktis otonomi daerah sifatnya hanya administratif saja, hanya penyelenggara saja, tidak bisa mengolah secara penuh,” kata Prof Selamet.n ant
Read Entire Article